U

Apa Saja Perbedaan Ahli Kitab Zaman Dulu dan Sekarang?

Refleksi Podcast Episode 71

Mengurai Stereotip ‘Ahlul Kitab’: Ahlul Kitab Era Nabi Muhammad saw. dan Sekarang

Umat Islam memiliki kedekatan dan keakraban dengan ahlul kitab di saat Nabi Muhammad saw. jumeneng. Sangat banyak keteladanan Nabi saw. yang menunjukkan bagaimana relasi sosial yang terbina di antara sesama ahlul kitab. Bahkan, hewan sembelihan ahlul kitab dihalalkan bagi umat Islam. Seiring berjalannya waktu dengan berbagai peristiwa sejarah yang menyertai, lantas turut berkontribusi dalam mempengaruhi penafsiran para ulama yang membuat terdapat pergeseran makna terhadap diksi ‘ahlul kitab’; yang kemudian berdampak pula pada konsekuensi hukum yang diijtihadi oleh para ulama. Secara lebih ekstrem, diksi ‘ahlul kitab’ juga tidak terlepas dari berbagai bentuk stereotip yang membuat relasi antar umat beragama menjadi berjarak. Banyak yang menafsirkan, bahwa ahlul kitab era Nabi Muhammad saw. tidak sama dengan ahlul kitab yang ada di abad ke-20 ini, sehingga terdapat perbedaan pula dalam mengimplementasikan apa yang telah Nabi Muhammad saw. teladankan. Kita semua tentu bertanya-tanya, apakah memang ahlul kitab saat ini tidak sama dengan ahlul kitab di era Nabi saw.?

Merespon pertanyaan ini, Alwi Shihab menjelaskan, bahwa ahlul kitab pada masa Nabi saw. tentu tidak banyak beda dengan yang ada pada masa sekarang ini. Adapun perbedaan yang menonjol, salah satunya diwarnai oleh faktor politik. Namun perlu menjadi catatan, bahwasanya di masa Nabi saw. pun sudah ada ahlul kitab yang dikecam oleh Alquran. Di antara yang dikecam ini adalah yang menyangkut tentang keesaan Tuhan; dimana terdapat keraguan pada mereka tentang keesaan Tuhan, dan perihal isu trinitas. Akan tetapi, fenomena yang diabadikan Alquran ini tidak bisa menjadi patokan untuk mengeneralisir mereka semua adalah sama; karena di dalam ahlul kitab sendiri, misalnya dalan kelompok Kristen, banyak sekali penafsiran-penafsiran, yang semua penafsiran itu mengacu pada kemutlakan keesaan Tuhan. Dengan kata lain, kelompok ahlul kitab yang dikecam di era Nabi saw. juga mungkin masih ada sampai sekarang, karena sekarang ini juga banyak kelompok Kristen yang tidak mengikuti apa yang ditafsirkan sebagai Trinitas yang sesungguhnya. Adanya kelompok ahlul kitab yang dikecam oleh Alquran, tidak menghilangkan identitas ahlul kitab yang juga disebutkan dalam Alquran sebagai ahlul kitab yang mengesakan Tuhan dan masih bisa diterapkan pada masa ini.

Maksud dari ahlul kitab yang masih bisa diterapkan pada masa ini ialah sebagaimana ahlul kitab pada zaman Nabi saw., yakni sembelihannya halal bagi umat Islam pengikut syariat Nabi saw. Kalaupun perihal isu ini terdapat penafsiran yang beragam, itu adalah penafsiran para ulama. Alwi Shihab menegaskan, dalam melihat sebuah agama, misalnya Islam, setidaknya seseorang harus memperhatikan tiga hal: pertama, pemahaman terhadap Alquran. Seorang Muslim harus menerima apa yang terdapat dalam Alquran secara utuh, tidak secara parsial. Saat seorang Muslim mampu menerima dan memahami Alquran secara utuh, sejatinya ia telah menjalankan ajaran agama secara utuh pula. Kedua, memahami ilmu-Alquran atau ilmu agama. Bagi Alwi Shihab, ilmu ini menyangkut hal-hal yang sifatnya manusiawi, karena sudah terdapat penafsiran atau pendapat ulama di dalamnya. Ketiga, pengamalan. Pengamalan di sini adalah tentang bagaimana pengamalan seseorang terhadap agama atau ketetapan agama. 

Pada ruang penafsiran terhadap ayat Alquran, ulama satu akan berbeda dengan ulama lainnya. Ada ulama yang longgar, ada ulama yang ketat, tetapi semuanya tetap bertumpu kepada teks Alquran. Alwi Shihab mengutip perkataan Sayyiduna Ali, bahwasanya Alquran ini sebenarnya bisa menciptakan perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini bisa terjadi karena teks itu bisa dipahami oleh orang tertentu yang hasil pemahamannya dapat berbeda dengan apa yang menjadi pemahaman orang lain. Atas dasar perbedaan penafsiran ini, Alwi Shihab mengatakan agar umat Islam tidak menjadikan pendapat ulama itu sebagai pendapat agama Islam. Kita harus mengatakan bahwa itu adalah pendapat ulama A, ulama B, atau lainnya, bukan pendapat agama Islam, sehingga yang bertentangan dengan pendapat ulama tertentu tidak lantas dikatakan telah menyimpang. Alwi Shihab tidak memungkiri, bahwasanya terdapat ulama-ulama yang sangat sulit untuk dipahami pandangannya, namun tetap berusaha mengaitkan pandangannya tersebut dengan teks-teks Alquran.

Alwi Shihab memberikan contoh bagaimana para ulama berbeda penafsiran terhadap ayat Alquran perihal keselamatan ahlul kitab di hari akhir. Ada ulama yang mengatakan, bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, Sabi’in yang percaya kepada Tuhan YME, yang berbuat baik, dan percaya kepada hari kemudian, maka mereka itu semuanya akan selamat di hari kemudian. Ada pula ulama yang mengatakan, bahwa paspor masuk surga sebagai tanda keselamatan hamba itu ada tiga: percaya kepada Tuhan YME, percaya hari kemudian, dan melakukan amal saleh. Amal saleh dimaknai sebagai amal yang bermanfaat bagi manusia. Amal saleh berbeda dengan amal hasan. Amal saleh adalah amal yang tidak sekedar baik/bagus saja, tetapi bermanfaat bagi manusia secara inklusif. Oleh karena itu, selama seseorang melakukan amal saleh, percaya pada pengadilan di hari akhir, dan percaya tiada Tuhan selain Allah Saw., maka orang tersebut akan masuk surga. Bagi ulama tersebut, tiga faktor inilah yang menjadi paspor seseorang untuk masuk surga. 

Alwi Shihab melanjutkan, bagi ulama-ulama salaf, ulama-ulama tradisional, pandangan-pandangan tersebut di atas adalah pandangan orang liberal. Melabeli demikian dan apapun tentu boleh-boleh saja, namun perlu digaris bawahi bersama, bahwa apapun yang disampaikan oleh seorang ulama, itu tidak serta-merta mengambil cantolan-nya murni dari Alquran. Karena para ulama dalam mengeluarkan pendapat/fatwa, tentu dipengaruhi oleh keadaan, tradisi, tingkat intelektualnya, dan sebagainya. Seperti contoh, Ibnu Taymiyyah berfatwa, bahwa orang yang tidak salat, dan tidak mau bertobat, maka orang tersebut telah melakukan pelanggaran dan boleh dibunuh. Fatwa ini tidak bisa diterapkan di zaman sekarang. Adapun pada waktu Ibnu Taymiyyah hidup, ia sebagai umat Islam di masa itu mungkin menghadapi situasi/suasana yang ingin menjadikan kelompok Islam itu jangan meninggalkan salat. Fatwa Ibnu Taymiyyah lainnya adalah perihal larangan kelompok Islam ikut dalam perayaan kelompok Kristen, dan juga larangan ikut meniup terompet Christmas; yang demikian dianggap sebagai sebuah pelanggaran.

Alwi Shihab kembali menegaskan, bahwa umat Islam jangan menjadikan pendapat ulama sebagai suatu hal yang sakral. Pendapat ulama itu bisa berbeda-beda. Jangankan beberapa ulama, seorang ulama saja bisa berbeda, seperti Imam Syafi’i dengan al-qaul al-qadiim dan al-qaul al-jadiid-nya. Pada rentang waktu tidak lebih dari 30 tahun, Imam Syafi’i sudah merubah beberapa pandangannya. Atas dasar ini, Alwi Shihab mengajak agar kita semua harus bisa menghormati perbedaan pandangan. Jangan serta merta kalau tidak sejalan dengan pandangan kita, lantas kita katakan bahwa mereka itu sesat. Kita cukup katakan bahwa kita tidak sejalan. Adapun perihal benar dan salah dalam penafsiran, itu kelak Allah yang akan menentukan bagaimana niat seseorang dalam menafsirkan teks kalam Tuhan.

Ringkasnya, apapun ragam penafsiran terhadap diksi ahlul kitab seyogyanya tidak dijadikan sebagai dasar dalam memicu perdebatan, permusuhan dan perpecahan antar sesama; baik yang seiman, maupun terhadap mereka yang berbeda iman. Kita harus merujuk pada Alquran dan tidak menyakralkan pendapat ulama tertentu sehingga pendapat tersebut lebih kuat dibandingkan Alquran. Alwi Sihab mengajarkan kita semua agar dapat membaca ayat dengan semangat zaman yang penuh kemaslahatan dan kebermanfaatan bagi seluruh alam. Dan seyogyanya, pandangan terhadap perbedaan penafsiran terhadap ahlul kitab ini tidak kita gunakan untuk melihat perbedaan ahlul kitab di era Nabi saw. dan saat ini, melainkan untuk berkaca pada diri, apakah kemusliman kita telah sama dengan apa yang diajarkan Nabi saw. di era beliau, atau justru kita telah menyimpang dan termasuk dari orang-orang yang dikecam oleh Alquran?(IL/AKR) 

Nonton Juga

C

Bagaimana pandangan Anda? Infokan juga apabila materi ini bermanfaat sebagai inspirasi tulisan/integrasi bahan dalam RPP/dsb.

Komentar (0)
L
× Silakan LOGIN untuk berkomentar.